Review Film One Night Stand

review-film-one-night-stand

Review Film One Night Stand. Film “One Night Stand” kembali mencuri perhatian di akhir 2025, setelah tayang perdana pada November 2021 dan kini sering diputar ulang di platform streaming. Disutradarai Adriyanto Dewo, drama romantis berdurasi 80 menit ini mengisahkan Ara, pria yang pulang ke Yogyakarta untuk hadiri pemakaman dan pernikahan dalam sehari yang sama. Di tengah hiruk-pikuk emosi, ia bertemu Lea, wanita misterius yang jadi teman seperjalanan tak terduga. Dibintangi Jourdy Pranata sebagai Ara dan Putri Marino sebagai Lea, cerita ini terinspirasi nuansa “Before Sunrise” tapi dengan sentuhan lokal: obrolan panjang soal cinta, nasib, dan kebebasan di jalanan Jogja. Dengan rating rata-rata 6.1, film ini dipuji atas dialog naturalnya tapi dikritik karena terlalu banyak bicara tanpa aksi dramatis. Empat tahun kemudian, ia tetap relevan sebagai cermin hubungan sesaat anak muda urban yang penuh pertanyaan tak terjawab. INFO VOLI

Sinopsis yang Penuh Obrolan dan Refleksi: Review Film One Night Stand

Ara tiba di Jogja dengan beban ganda: mengantar sahabat lama ke peristirahatan terakhir, lalu hadiri pesta pernikahan teman kuliah. Saat berdiri sendirian di halte bus, ia bertemu Lea, gadis asal Jogja yang santai dan penuh cerita. Apa yang dimulai sebagai obrolan ringan berubah jadi petualangan seharian: dari krematorium yang sepi hingga resepsi mewah, sambil jalan kaki, naik ojek, dan ngopi di warung pinggir jalan. Sepanjang hari, mereka bahas segalanya—cinta yang gagal, pernikahan sebagai jebakan, kematian sebagai pembebas, hingga one night stand sebagai pelarian sementara. Ara, yang masih ingat mantan Ayu, mulai goyah saat Lea buka rahasia hidupnya yang bebas tapi kesepian. Twist kecil muncul saat Ara sadar pertemuan ini bukan kebetulan, tapi ujian nasib. Sinopsis ini tak punya plot rumit; ia lebih seperti curhatan dua orang asing yang saling temukan cermin diri, meski akhirnya berpisah tanpa janji.

Performa Aktor yang Natural dan Menyentuh: Review Film One Night Stand

Jourdy Pranata sebagai Ara tampil pas: ia bawa rasa ragu pria kota yang kembali ke akar, dengan tatapan lelah tapi penasaran saat dengar cerita Lea. Ekspresinya di adegan pemakaman—campur sedih dan lega—terasa tulus, membuat penonton ikut renung. Putri Marino sebagai Lea curi hati; ia gambarkan wanita mandiri yang cuek tapi dalam, dengan senyum miring yang bikin Ara (dan kita) jatuh hati pelan-pelan. Chemistry mereka kuat, terutama di momen diam sambil pandang langit senja, di mana kata-kata tak perlu tapi emosi bicara sendiri. Pemeran pendukung seperti Elang El Gibran dan Tegar Satrya beri warna di flashback, meski peran mereka minim. Secara keseluruhan, akting ini sukses bikin film terasa seperti potret nyata dua orang biasa, tanpa overacting atau adegan paksaan.

Produksi dan Tema yang Berani tapi Minimalis

Adriyanto Dewo pilih pendekatan sederhana: sinematografi tangkap keindahan Jogja sehari-hari—dari jalan Malioboro yang ramai hingga sawah hijau di pinggir kota—dengan kamera handheld yang bikin terasa intim. Musik latar minim, hanya suara gamelan samar dan lagu indie lembut yang dukung obrolan, tanpa ganggu ritme lambat. Editing rapi, meski 80 menit terasa panjang bagi yang bosan dialog, dan opening scene intim di mobil beri nada berani soal seksualitas. Tema utamanya patut diapresiasi: film ini sentuh tabu one night stand sebagai bentuk eksplorasi diri, bukan dosa, sambil soroti kontras pemakaman (akhir) dan pernikahan (awal baru). Ia kritik budaya pernikahan paksa dan tekanan sosial, tapi lewat obrolan ringan, bukan ceramah. Minusnya, latar dua acara terasa kurang tergali, membuat beberapa momen simbolis terlalu samar.

Kesimpulan

“One Night Stand” adalah romansa yang tenang tapi menggigit, cocok untuk malam santai sambil renungkan hubungan sendiri. Kekuatannya ada di dialog enak didengar dan chemistry alami, meski pacing lambat dan akhir terbuka sempat bikin penasaran tak terpuaskan. Empat tahun berlalu, film ini masih sering direkomendasikan bagi yang suka cerita dewasa tanpa drama berlebih, terutama soal bagaimana pertemuan sesaat bisa ubah pandang hidup. Ia ingatkan bahwa cinta tak selalu abadi; kadang, cukup satu malam untuk belajar melepaskan. Bagi penggemar film talky ala Eropa dengan rasa Indonesia, ini wajib dicoba—siapkan kopi dan hati terbuka, karena akhirnya, seperti Ara dan Lea, kita semua cuma lewat di hidup orang lain, tapi jejaknya tetap ada.

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *