Review Film Bajrangi Bhaijaan

review-film-bajrangi-bhaijaan

Review Film Bajrangi Bhaijaan. Sepuluh tahun setelah rilis Juli 2015, film ini masih jadi salah satu yang paling banyak ditonton ulang di berbagai platform pada 2025. Cerita seorang pemuda India yang nekad menyeberangkan anak kecil bisu dari Pakistan kembali ke keluarganya berhasil mencuri hati lebih dari 900 juta penonton global dan tetap jadi film India terlaris ketiga sepanjang masa. Di tengah ketegangan politik yang kadang muncul antara kedua negara, film ini justru jadi simbol perdamaian yang paling sering disebut netizen kedua negara. Ratingnya tetap bertahan di atas 8,0, dan adegan terakhir masih rutin bikin penonton dewasa menangis. BERITA BOLA

Plot Sederhana yang Menyentuh Jiwa: Review Film Bajrangi Bhaijaan

Pawan, pemuda polos pengikut Hanuman, menemukan Shahida, anak kecil bisu yang tersesat di India. Tanpa paspor, tanpa bahasa yang sama, Pawan berjanji mengantarkan Shahida pulang ke kampungnya di Pakistan Sultanpur. Perjalanan lintas batas tanpa dokumen, penuh rintangan polisi, militer, dan birokrasi, disajikan dengan ritme yang pas: lucu di awal, haru di tengah, epik di akhir. Tidak ada romansa berlebihan, tidak ada kekerasan berlebih, hanya satu tujuan murni: mengembalikan anak ke ibunya. Kesederhanaan itulah yang membuat cerita ini terasa begitu besar.

Akting yang Membuat Penonton Percaya: Review Film Bajrangi Bhaijaan

Pemeran Pawan berhasil membawakan karakter “orang baik” tanpa terasa menggurui atau lebay. Ekspresi polos, logat Haryana yang kental, dan gerakan tubuh yang lucu membuat penonton langsung jatuh cinta sejak menit pertama. Anak kecil yang memerankan Shahida juga luar biasa; meski tidak bisa bicara satu kata pun sepanjang film, matanya berhasil menyampaikan rasa takut, senang, dan sayang dengan sempurna. Chemistry mereka berdua jadi nyawa utama, sampai adegan sederhana seperti makan roti bersama atau tidur di masjid terasa sangat emosional. Pemeran pendukung, termasuk wartawati Pakistan dan polisi perbatasan, juga bermain natural sehingga tidak ada yang terasa dipaksakan.

Pesan Kemanusiaan yang Melampaui Batas

Di tengah konflik India-Pakistan yang sering jadi headline, film ini berani bilang bahwa kemanusiaan lebih besar dari politik. Adegan Pawan menyanyikan lagu bhajan di masjid Pakistan, atau warga Pakistan membantu tanpa memandang agama, selalu jadi momen paling diapresiasi. Pesan “bhai-chara” (persaudaraan) dan “insaniyat” (kemanusiaan) disampaikan lewat tawa dan air mata, bukan lewat dialog panjang. Bahkan di 2025, ketika hubungan kedua negara naik-turun, film ini tetap sering dibagikan di media sosial sebagai pengingat bahwa orang biasa di kedua sisi masih punya hati yang sama.

Musik dan Visual yang Menyatu Sempurna

Lagu-lagu dalam film ini langsung jadi anthem lintas negara. “Selfie Le Le Re”, “Bhar Do Jholi”, sampai “Zindagi Kuch Toh Bata” yang dinyanyikan anak kecil masih diputar di pernikahan, perjalanan bus, bahkan acara keagamaan. Visual pegunungan Kashmir yang hijau, pasar Lahore yang ramai, dan salju di perbatasan berhasil ditangkap dengan indah tanpa terlihat berlebihan. Durasi 159 menit terasa cepat karena setiap adegan punya fungsi, tidak ada lag yang mengganggu emosi.

Kesimpulan

Film ini berhasil jadi tontonan keluarga yang bisa ditonton berulang-ulang tanpa bosan. Ia membuktikan bahwa cerita sederhana tentang kebaikan hati bisa mengalahkan film berbudget ratusan crore yang penuh efek. Sepuluh tahun berlalu, tapi setiap kali adegan terakhir di mana Pawan berteriak “Jai Shri Ram… Jai Hind… Pakistan Zindabad” sambil melambaikan tangan dari kereta, penonton masih berdiri dan bertepuk tangan di bioskop rumah. Kalau belum pernah nonton, siapkan akhir pekan. Kalau sudah pernah, tonton lagi – rasanya tetap sama: hangat, haru, dan penuh harapan. Karena seperti kata Pawan, “Bajrang Bali sabka saath dete hain… bas dil saaf hona chahiye.”

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *